Jogjakarta (sungguh) Berhati Nyaman

gasing (1)Sore itu hari keduaku meluncur di jalanan Jogjakarta sendirian. Memang sudah kutekadkan untuk segera menyelesaikan urusan administrasi kampus S1-ku sesegera mungkin supaya bisa mengurus kelanjutan studi. Kupacu kendaraan di jalan favorit dulu, jalan yang relatif lengang di antara kampus UNY dan UGM menuju pom bensin dan ATM. Melewati selokan Mataram dan warung bakso langganan, mulutku yang tertutup masker tak henti tersenyum, menikmati sedikit udara segar dan nostalgia. Jauh berbeda dengan sumpeknya Jakarta di jam yang sama.

Kuamati jalanan kiri-kanan menuju Deresan, dan DEG… Ada pemandangan yang menusuk hati. Seorang Bapak tua lusuh di kiri jalan. Teronggok di depannya sekotak penuh mainan tradisional seperti gasing, “othok-othok”, beberapa ikat seruling bambu, dan mainan-mainan lain yang aku sudah lupa namanya. Di jalanan lengang ini, dekat dengan rumah-rumah besar, tanpa ada tanda-tanda anak kecil di sekitarnya, Bapak tua lusuh itu menjual mainan. Dia hanya menatap kendaraan yang lewat dengan wajah yang nampak lelah dan berdebu. Berharap sejenak ada yang berhenti dan membeli dagangannya. Mungkin sudah berjam-jam dia duduk di situ tanpa ada seorangpun yang membeli. Hampir menangis sungguh, melihat perjuangannya di usia yang sudah renta.

Ingin rasanya berhenti untuk membeli sebentar dagangan Bapak tua tapi ternyata uang di dompet memang tidak ada. Segera kupacu motor menuju pom bensin dan ATM karena tidak ingin kehilangan Bapak tua itu. Tak disangka pom bensin Gejayan sedang direnovasi jadi aku segera memutar balik ke jalan semula. Kuraba-raba kantong jaket, ternyata masih ada 20 ribu. Alhamdulillah, masih cukup untuk seliter bensin eceran dan semoga bisa membeli mainan Bapak tadi.

Sambil celingak celinguk kucari Bapak tua penjual mainan. Hatiku mencelos karena tak kulihat beliau di manapun. Ya Allah, kemana Bapak itu?? Segumpal rasa menyesal menyeruak. Tiba-tiba di kanan jalan kulihat Bapak itu sedang dikerumuni tiga orang pembeli. Alhamdulillah ketemu!

Kulihat wajah lelah dan berdebu si Bapak tua saat kutanya berapa harga seruling bambunya. Segera kubayar tanpa banyak bertanya meskipun aku sendiri tidak tahu cara meniupnya 😀 😀 Pembeli mainan Bapak itu semuanya orang dewasa. Sepasang suami istri membeli gasing dan othok-othok, seorang mahasiswa bermotor membeli seruling, dan seorang pria yang muncul dari salah satu rumah besar. Ada satu hal yang membuat hatiku tergetar. Kami para pembeli hanya saling tersenyum dan melihat dengan tatapan saling mengerti. Kami disana memang bukan untuk membeli mainan…

Kustarter motorku untuk segera beranjak karena mendengar kumandang adzan Ashar di kejauhan. Kutinggalkan Bapak tua itu dengan pembeli baru lainnya. Kali ini, seorang pemuda bertato. Mulutku tak henti tersenyum, mensyukuri kota ini yang demikian dalam maknanya bagiku, sebagian wajahnya masih tetap seperti dulu. Jogjakarta (sungguh) berhati nyaman….

Catatan akhir April 2014