“GENERASI TEMPE”

Image

“Generasi tempe”, sebutan yang sering digunakan untuk menunjuk sekelompok orang dalam standar kehidupan menengah ke bawah. “Generasi tempe” yang konsumsi hariannya lebih banyak didominasi makanan bergizi seperti tahu dan tempe. Kalau begitu saya secara pribadi juga masuk dalam generasi itu. Saya dan banyak “generasi tempe” lainnya justru layak merasa bangga. Jangan salah, justru menurut data statistik jumlah “generasi tempe” inilah yang terbesar di Indonesia, lebih dari 60%. Kelas menengah adalah konsumen terbesar dan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi negeri ini. Dan sadarkah kita bahwa bisnis kelas menengah dan kecil, petani, buruh, pedagang kaki lima, pengasong, sampai penjual gorengan (termasuk tempe) adalah mata pencaharian utama, penyelamat perekonomian kita bahkan saat krisis. Di tangan para “generasi tempe” inilah sebetulnya kekuatan utama negeri ini.

 “Generasi tempe” barangkali sebagian besar tidak pernah menyentuh yang namanya dollar, apalagi sampai memiliki, menjadi spekulan, atau merasakan “berkah” utang luar negeri. Tapi justru “generasi tempe”, kekuatan ekonomi utama negeri ini menjadi korban paling parah dalam desakan fluktuasi dollar yang tak mereka pahami. Lonjakan harga-harga termasuk kedelai di pasaran dalam negeri membuat para pengusaha tahu dan tempe menjadi berontak. Mereka sepakat mogok berproduksi selama beberapa hari, mengakibatkan langkanya pasokan makanan rakyat murah meriah bergizi ini. Kisah sedih mulai beredar. Saat para ibu dan nenek yang biasa menyajikan lauk tempe dan tahu, terpaksa memberi makan anak dan cucunya hanya dengan separuh nasi aking dengan sayur berbumbu garam berlauk bongkrek (ampas tahu). Buntut dari mahalnya beras, tempe tahu dan bawang cabai yang menggila. Jikalau 60% populasi negeri ini hanya mampu memberi makan anaknya dengan aking dan bongkrek, jangan salahkan jika 10 tahun lagi kita hanya bisa melongo menyaksikan masa depan negeri ini diisi oleh generasi baru malnutrisi: “generasi aking dan bongkrek”!