Antara Turki dan Cina

story.china.turkey.blog

Sejak kecil saya menyukai sejarah peradaban-peradaban besar dunia. Saya seperti terbius dengan cerita-cerita keindahan taman gantung Babilonia, penaklukan spektakuler bangsa Mongol, peradaban Mesir yang menakjubkan, kuil-kuil Romawi dan Yunani, serta kuatnya jaringan perdagangan bangsa Cina. Saat itu saya membayangkan menjelajahi tempat-tempat yang diceritakan dalam buku maupun cerita-cerita guru. Menjelang SMP “nafsu” membaca saya semakin menggila. Semua buku perpustakaan, majalah yang dibelikan orangtua, sampai lembaran koran bungkus makanan dibaca. Dari sana saya belajar tentang etos kerja bangsa Jepang dan kemegahan kekhalifahan Turki Utsmani. Terbersit keinginan untuk mengunjungi semua tempat-tempat bersejarah itu. Belajar tentang sebab kejayaan dan keruntuhan berbagai peradaban seraya berpetualang mencari terobosan bagi peradaban baru bernama “Indonesia”.

Tak dinyana di tahun 2009 Allah memberi kesempatan untuk mengunjungi salah satu kota terindah di dunia yaitu Istanbul, bekas ibukota kekhalifahan Turki Utsmani dan salah satu kota utama pada peradaban Yunani-Romawi, sebagai undangan terhormat. Saya tersungkur dalam sujud panjang di Masjid Sultan Ahmed (Masjid Biru), tercenung di depan pintu Masjid Al Fatih, menyadari betapa saya sudah sampai di salah satu tempat impian. Menyeberangi Selat Bosphorus dan menyaksikan Yunani dan Romawi kuno sudah demikian dekat membuat hati bergetar. Allah bahkan mentakdirkan saya berkunjung ke Turki hingga beberapa kali, membuat saya serasa di “rumah”.

Ternyata Allah menyiapkan kejutan lain di tahun 2013 saat saya berkesempatan mengikuti seleksi dan lolos untuk berangkat kursus di Cina selama sebulan. Segala keingintahuan dan rasa penasaran tentang kekuatan ekonomi Cina terjawab sudah. Saya berkesempatan belajar dengan para ahli, perancang kebijakan ekonomi dan sosial Cina kontemporer. Mereka sebagai bangsa demikian praktis dan pragmatis untuk sukses, tapi detail dan presisi dalam merumuskan langkah-langkah menuju kesuksesannya. Berkunjung ke Kota Terlarang (Forbidden City), menyaksikan Tembok Besar Cina, dan hidup di tengah masyarakatnya selama beberapa minggu, seperti menyesap etos kerja keras  yang dimiliki peradaban bangsa Cina selama ribuan tahun.

Subhanallah…Alhamdulillah…Laa Ilaha illa Allah..Allahu Akbar!

Ada beberapa hal yang sama dari masyarakat di dua tempat ini, Turki dan Cina. Sebagai tempat tumbuhnya peradaban-peradaban besar, mereka memiliki visi yang besar. Bukan sekedar sebagai individu dan negara tapi sebagai komunitas penentu warna dunia. Etos kerja keras yang bisa dilihat setiap hari secara kasat mata di Cina ditambah semangat tinggi dalam kreativitas dan inovasi menampar kesadaran bahwa bangsa Cina tinggal menunggu waktu untuk menjadi super power sepenuhnya. Cina dan Turki juga relatif maju secara ekonomi. Kemandirian ekonomi yang tercermin pada dominasi produk lokal dan kuatnya jaringan perdagangan ditopang dengan semangat enterpreneurship yang mengakar pada masyarakatnya sejak ribuan tahun lalu bisa jadi adalah kunci stabilnya ekonomi mereka pada hari ini. Beragam suku bangsa juga dapat dengan mudah ditemui di dua tempat ini. Rata-rata adalah para pelajar atau pedagang, wujud nyata persilangan pengetahuan dan ekonomi internasional yang telah terjadi juga selama ribuan tahun.

Dalam berbagai kesempatan berkunjung di tempat-tempat lain yang tak perlu saya sebutkan namanya, saya menyempatkan belajar hal-hal serupa. Sebab-sebab kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Tempat lahirnya peradaban tua tidak serta merta menjadikan tempat tersebut menjadi setrum kemajuan yang menarik banyak pihak. Dia hanya berakhir menjadi tempat ziarah, museum bagi kebanggaan masa lalu jika penduduknya hari ini tidak memiliki semangat untuk bekerja bagi visi peradabannya. Menjadi pertanyaan bagi saya pribadi sebagai bangsa Indonesia, akankah bangsa ini yang disebut Prof. Arysio Santos tinggal di “The Lost Atlantis” akan bisa mencapai puncak kejayaannya? Pertanyaan berikutnya adalah: kemana lagi Allah akan membawa saya berkelana? Wallahu a’lam  🙂

Jakarta, akhir September 2013

Menunggu kejutan indah dari-Nya

“GENERASI TEMPE”

Image

“Generasi tempe”, sebutan yang sering digunakan untuk menunjuk sekelompok orang dalam standar kehidupan menengah ke bawah. “Generasi tempe” yang konsumsi hariannya lebih banyak didominasi makanan bergizi seperti tahu dan tempe. Kalau begitu saya secara pribadi juga masuk dalam generasi itu. Saya dan banyak “generasi tempe” lainnya justru layak merasa bangga. Jangan salah, justru menurut data statistik jumlah “generasi tempe” inilah yang terbesar di Indonesia, lebih dari 60%. Kelas menengah adalah konsumen terbesar dan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi negeri ini. Dan sadarkah kita bahwa bisnis kelas menengah dan kecil, petani, buruh, pedagang kaki lima, pengasong, sampai penjual gorengan (termasuk tempe) adalah mata pencaharian utama, penyelamat perekonomian kita bahkan saat krisis. Di tangan para “generasi tempe” inilah sebetulnya kekuatan utama negeri ini.

 “Generasi tempe” barangkali sebagian besar tidak pernah menyentuh yang namanya dollar, apalagi sampai memiliki, menjadi spekulan, atau merasakan “berkah” utang luar negeri. Tapi justru “generasi tempe”, kekuatan ekonomi utama negeri ini menjadi korban paling parah dalam desakan fluktuasi dollar yang tak mereka pahami. Lonjakan harga-harga termasuk kedelai di pasaran dalam negeri membuat para pengusaha tahu dan tempe menjadi berontak. Mereka sepakat mogok berproduksi selama beberapa hari, mengakibatkan langkanya pasokan makanan rakyat murah meriah bergizi ini. Kisah sedih mulai beredar. Saat para ibu dan nenek yang biasa menyajikan lauk tempe dan tahu, terpaksa memberi makan anak dan cucunya hanya dengan separuh nasi aking dengan sayur berbumbu garam berlauk bongkrek (ampas tahu). Buntut dari mahalnya beras, tempe tahu dan bawang cabai yang menggila. Jikalau 60% populasi negeri ini hanya mampu memberi makan anaknya dengan aking dan bongkrek, jangan salahkan jika 10 tahun lagi kita hanya bisa melongo menyaksikan masa depan negeri ini diisi oleh generasi baru malnutrisi: “generasi aking dan bongkrek”!